Oleh: Buyung M.R
Hari
ini aku mulai mengexspresikan diriku disebuah rumah kumuh di sudut kota ini,
mencari perbekalan hidup yang akan ku jalani esok. Hari yang mungkin menghibur
diriku penuh dengan gelombang harapan yang menggebu. Menarik suasana hati yang
memang menyejukkan batin ini. “Hari yang telah aku jalani dengan senyuman”
mungkin kata-kata itu yang sering terlontar dalam benah setiap insan yang
merindukan kebahagiaan di dalam gemuruhnya hidup yang tak pernah ada
habis-habisnya menyapa pendatang baru yang masih tidak bersahabat ini. Hari
yang begitu sepi menyayat pendengaranku mengijakkan masa depan ini di tanah
rencong kebanggaan masyarakat aceh ini.
“Tempat yang begitu tenang” kata
orang-orang yang aku dengar ketika aku masih di kampung dulu. Tempat ini,
tempat yang jauh dari kesombongan, sopan, dan masyarakat yang beradap.
Menjunjung tinggi adat istiadat daerah mereka dan entah apa lagi yang dapat ku
bayangkan ketika aku masih merindukan tanah rencong ini dulu. Kini aku sudah
berada dalam sebuah masyarakat yang katanya penuh dengan keperdulian.
Meninggalkan bayanganku yang entah aku tak tau, aku juga tak dapat memikirkan
dengan akal sehatku ketika aku telah berada di tanah rencong ini. Dengan
ucapan banga mereka menyebutnya ini
semua “seramoe mekah” itulah kata yang juga sering aku dengar ketika itu. Negri
seraya penuh dengan gejolak cinta dunia dan akherat, negri yang di idam-idamkan
oleh setiap umat muslim sejati.
Tapi, itu semua hanyalah kata
mereka, katanya, atau kata siapakah yang pasti aku mendengarnya demikian dari
orang-orang yang ada di kampung dulu. Sehingga aku ingin sekali menimba
sepotong pengalaman di tanah yang sejuk ini.
Pagi yang cerah, diselimuti oleh
awan putih yang menambah keceriaan hari itu, dengan lambayan tangan pengucap
salam memulai sebuah perjalananku di kota sederhana ini. Deruan kendaraan
berlalu lalang di jalannan hitam bergariskan pembatas yang tidak menyatu.
Tempat pemisah antara kenderaan yang satu dengan geberan mesin di hari itu. Aku
melintas disebuah trotoar penyebrangan jalan yang membelah perjalanan para
pengemudi kota ini. “Wah ramai” gumamku ketika aku beranjak dari sebuah tangga
trotoar menuju jembatan penyebrangan di persimpangan jalan kota ini.
Persimpangan yang cukup ramai, yang tidak aku jumpai ketika aku dikampung dulu.
Meniti langgkah kakiku yang melayang
di sela-sela anak tangga, berjajar mengikuti ayunan telapak kakiku yang asik
menari di tepian anak tangga ini. Sejenak aku menghentikan ayunan langkah
kakiku di atas jembatan penyebrangan ini. Kutatap pesona kota hari ini, hari
yang ku anggap bersejarah, mengapa tidak, ini hari pertamaku mengijakkan kakiku
di sebuah pusat kota kebanggaan masyarakat ini. Hari yang aku jalani penuh
dengan rasa senang, mengingat di kota ini, aku kini mulai mengawali perjalanan
panjangku kehari yang akan datang. Hari yang akan aku arungi bersama masyarakat
sekitar tempat tinggalku ini.
Dari atas jembatan penyebrangan
terlihat begitu menenangkan, penuh dengan hiasan kota yang begitu mengasikkan.
Barisan lampu kota rapi berjajar laksana para pejuang yang sedang mengatur
barisan dalam acara apel pagi. Dihiasi pohon-pohon yang memagari jalanan
tersebut. “Indah” aku menilai kota ini, dari atas jembatan pula tampak
persimpangan jalan yang bercabang berjajar kenderaan dari beberapa sudut tepi
jalan berbaris rapi dan hanya dikawal oleh lampu yang warnanya mirip seperti
pelangi yang ada di kampung ku dulu ketika hujan gerimis menghampiri
kampunggku. Wah warnanya mirip sekali ada yang merah, kuning, dan hijau seperti
lagu anak-anak aja. Disanapula segerombolan pengendara sepeda motor mengitari
persimpangan itu. Anak sekolah yang berseragam rapi berlalulalang dijalan ini
tanpa menghiraukan kendaraan yang lewat. “Wah berani kali anak itu” gumamku
salut, ketika aku melihat anak-anak menyebrangi jalan yang hanya menadahkan
tangan kesamping, ada yang berlarian padahal di sini ada jembatan penyebrangan
seperti tempat aku berdiri tapi kok mereka malah lewat bawah. Wah salut, aku
melihat tinggkah anak berseragam sekolah itu.
Mungkin, mereka udah bosan melintas
di jembatan penyebrangan ini, atau mungkin juga memang mereka semua suka
tantangan, seperti acara yang extrim di tv suwasta yang ada di kota ini.
Kelakuan yang memang tidak terdapat dikampunggku dulu, sewaktu aku mau
berangkat kesekolah selalu saja di ajarkan “nak kalau pigi sekolah dari sebelah
kiri ya...? kalau mu nyebrang jalan liat kanan kiri dulu baru nyebrang” kata
orang tuaku di kampung ketika aku mau berangkat sekolah. Tapi di kota ini
sangat berbeda, mungkin ini yang dinamakan salah satu kesopanan dalam
menggunakan jalan. Ia, memang tidak aku dapatkan dari siapapun dulu mungkin ini
salah satu pelajaran yang dapat aku tiru. “Wah...! serujuga kalau kayak gitu
bearti ini salah satu kelakuan kota yang dibangga-banggakan di kota ini”
seketika terlontar kata senang dalam bibirku yang penuh dengan rasa salut serta
senyum pagi yang memang masih cerah saat itu.
“Hussssss...” hembusan angin pagi
melalaikan diriku atas ajaran kota ini yang memang baru aku dapatkan dalam masa
adaptasi dengan lingkungan ini. Sejenak ku palingkan wajahku ke arah yang lain
sembari menapakkan kakiku menuju halte yang ada di trotoar jalan tepat diujung
jembatan penyebrangan yang sedang ku berpijak ini. Sambil menikmati segarnya
udara kota dengan kepulan asap kenderaan yang mengasikkan. Mulai kuturunin
barisan tangga jembatan ini sembari menyapa pagar jembatan penyebrangan ini
dengan tangan kiriku, menelusuri besi tua yang melingkar membatasi jalan ini
dengan senyum yang terlontar dari bibir lebarku kepada setiap mereka yang
berpapasan denganku. Ayunan kakiku mengantarkanku kesebuah halte kota yang
dipenuhi dengan antrian orang-orang yang beraktivitas pagi itu. Ada yang
berangkat kerja, ada yang kuliah, ada yang memang hanya untuk sekedar
jalan-jalan dan lain sebagainya untuk meramaikan aktivitas pagi di kota ini.
Di halte ini aku juga ikut mengantri
bersama orang-orang yang ada di halte ini, menanti sebuah bis kota yang
mengangkut kami ketemapat tujuan masing-masing. Tempat yang mana kami semua
dapat beraktifitas dengan senang hati, untuk mengisi hari-hari yang akan
menghidupi diri hingga ahir hayat nanti. Kota yang anggun, yang penuh dengan
keramahan, hingga aku merasa sangat betah tinggal berlama-lama di kota ini. Di
kota ini juga banyak terdapat tempat-tempat dan bangunan-bangunan yang
bersejarah yang perawatannya sangat kurang dan pemanfaatan pasilitas umum yang
sesuka hati, sungguh kota yang di idam-idamkan dan kota yang damai.
“tit...tit...tit...!” seru klakson
bis kota menghampiri halte tempat ku berpijak, memecahkan kerumunan antrian di
halte ini. Para penumpang berkerumun menaiki bis kota seperti dikejar oleh
segerombolan preman kampung yang memburu mereka, berdesak-desakan untuk berebut
masuk seakan tidak ada bis kota lain yang dapat mengantar mereka ketujuan meka
masing-masing. Berjubel saling berebut dan tidak keteraturan ini membuatku
bertambah bangga akan sikap orang-orang kota yang tak kenal aturan ini. Pantas
saja kecelakaan lalulintas banyak terjadi di kota ini, soalnya para pengguna
jasa jalan baik angkutan umum maupun pribadi sangat berhati-hati tidak
menghiraukan himbauan yang telah di pasang dimana-mana bahkan setiap sudut
jalan persimpangan hingga jalan lurus sekalipun. Bahkan papan himbauannya
sendiri telah dihiasi dengan lubang-lubang kecil hingga coretan yang sangat
indah menambah keindahan kota yang aku jalanin pagi ini.
Keceriaan pagi masih saja terpancar
di di raut wajahku ketika aku melihat sekelompok pemudi yang sangat menghibur
mata ini, dengan jilbab yang anggun menutupi kepala dan pakayan yang menutupi
tubuhnya serta dilengkapi dengan celana ketat menutupi pahanya yang molek
menambah keindahan hari itu, “wau... parah” ucapku seketika keluar begitu saja
dari bibir lebar ini. Ternyata yang dinamakan kota yang sangat dibanggakan ini
banyak juga pakayan muslim layak pakai yang di kenakan oleh kaum hawa di kota
ini. Sesuatu yang menambah pengalamanku pagi ini di kota baruku yang penuh
dengan kesejukan ini. “becak...becak...!” aku memanggil besi tua beroda tiga
yang melintas di jalanan kota ini dengan suara lantang. Besi tua yang
dikendarai seorang pria yang sederhana sopan dan menyebarkan senyum gembira
kepada diriku. Besitua itupun menghampiriku. Tanpa fikir panjang akupun
menunggangin besitua itu dengan rasa bangga, memutari kota menikmati perjalananku
hari ini melewati gang-gang kota seharian dengan besi tua yang sangat unik ini.
Pengalamanku semangkin bertambah
ketika ku memperhatikan pengendara mobil yang seenaknya memotong perjalanan
kami serta menghidupkan suara bising yang sangat mengasikkan laksana musik
tempoe duloe yang melalaikan telinga ini. Entah, seakan mereka tak sabar untuk
melintas dijalan raya ini. Tak lama kemudian, terdengar teriakan yang sangat
mengasikkan laksana musik jazz yang menghibur. “oiii.... minggir kutabrak nanti,
emang kamu aja yang bayar pajak jalan ne ya...!” teriak pengendara montor yang
asik memaki-maki di jalanan. Suasana yang sangat menyenangkan, menambah
catatanku terhadap kota yang sejuk ini. Kota yang mana terkenal dengan ramah
tamahnya serta menjunjung tinggi adat-istiadat daerah setempat.
Lalu-lalang kenderaanpun terus
mengalir dijalannan ini, seperti tak terbendungkan lagi. Kerumunan penikmat
kota yang aktif di setiap pagi di kota pertamaku ini. Akupun mulai menikmatin
perjalannanku dengan besi tua yang aku tunggangin ini. Banyak hal yang aku
nikmatin sehingga terasa senang dalam diri ini tanpa merasa bosan sedikitpun.
lebih lagi ketika aku melihat pengguna jalan di kota ini yang sangat menyita
perhatianku. Sungguh, kenapa tidak, sesuatu yang sangat jarang aku dapatkan
ketika aku berada di kampung dahulu ketika aku berjalan-jalan mengitari kampung
yang jalannya tidak semulus dan se indah di kota ini. Jalan yang penuh dengan
lubang tidak tertata rapi dan banyak temapat-temapat perkumpulan para
pengendara motor yang mengadu kecepatan dijalan yang sangat ramai ini. seolah
jalan ini tempat ajang mencari perhatian yang membahayakan nyawa diri sendiri, bahkan
orang lain, entah apa mereka menyebutnya “balap liar men!” dengan sangat bangga
mereka mengungkapkannya. Asik memang kalau pemandangan kota yang damai ini di
penuhi dengan para pemain jalanan yang gayanya ala rosi pembalap ternama dari
tetangga kita mungkin. Ah entah lah apa itu, yang penting pagi ini aku tidak
merasa bosan, terlebih lagi ini hari pertamaku dikota kebanggan masyarakat
tanah rencong ini.
Kota sederhana, kota penuh dengan kenangan yang indah.
Hari pertama perjalananku mengitari kota dengan besi tua yang unik, menunjukan
lagi khas daerah ini yang takkan luntur ditelan jaman. Tak terasa haripun
semangkin berlalu begitu saja, besi tua yang aku tunggangin telah
mengantarkanku ke tempat penampunganku, rumah kumuh yang akan menghiasi
perjalanku di hari yang akan datang, mengukir asa dan harapan yang masih semu
hingga raga dan batin ini mampu mendampinginya hingga waktu memisahkan
kesetiaanku dengan rumah kumuh mungilku ini. perjalannan pagiku hari inipun
berakhir dengan goresan harapan yang mudah-mudahan itu semaua tidakkan hilang
dari hadapan dan adat serta budaya kota tua ini. senyumkupun melebar ketika
hari pagi telah aku lewati dengan secarik pengalaman sederhana yang mungkin
akan kucoba untuk mengingatnya. Agar ku dapat menceritakan pengalamanku di hari
pertama di kota ini kelak ketika aku kembali ke kampung halaman.
note: Buyung M.R atau lebih
dikenal dengan nama Bambang Sutrisno adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia Unsyiah.
0 komentar:
Posting Komentar