Riri ada dimana-mana

Oleh: Bambang Sutrisno

Ketika sebuah ilusi telah datang menghampiri setiap manusia tiada yang  dapat menolaknya walaupun  itu sebuah kejadian yang konyol yang mungkin tak masuk akal. Tapi itu semua hanyalah ilusi yang datang dan yang pasti sangat tidak mungkin terjadi tapi juga dapat terjadi di dalam dunia nyata.
Sore itu,
Riri berlalu begitu saja membawa tas hitam berendakan pita coklat yang entah apa isinya. Ia.. emang sore itu sangat redup. Hujan berjatuhan laksana lonceng menghamburi langit-langit kesepian. Menerpa atap-atap kampus yang takpernah ada hentinya. Ia berlalu tanpa menghiraukan teriakanku. Entah apa yang ada dalam pikirannya, tidak biasanya riri bertingkah seperti itu padaku. Akupun duduk meletakkan kepalaku pada sandaran kursi yang ada di pintu tangga kampus. Malas ku memikirkan itu, ku hamparkan tas hitamku keatas pahaku mulai kubuka “krekkkk sret...” suara tasku berkumandang menghilangkan kesunyian saat itu. Kukeluarkan notebook mungilku dari selubung mulut tas kesayanganku.
            Hari itu sangat hening,  jam seakan berhenti berdetak lenyap ditelan suara gemuruh hujan saat itu. “titt..titt..tit..titt..” Tiba-tiba hanphone genggamku berdering seraya mengeluarkan nada peringatan. Dengan sigap tanganku menghapirinya dan melihat pemberi tahuan sebuah pesan masuk. Ternyata pesan dari si riri yang tadinya mengabaikanku ketika aku panggil. “lagi ngapain bang?” sebuah pesan tertulis dilayar hanphone ku. Tanpa pikirpanjang akupun mereplay pesan singkat tersebut “ engak, ini lagi duduk2 aja di kampus” pesan terkirim, sudah tertera dilayar handphone mungilku. “titt..titt..tit.titt..” hanphone ku berbunyi lagi sudah aku juga sudah menduga pesan dari riri. Treng teng teng tidak salah lagi perkiraanku, pesan balasan dari si riri, tapi yang ini seperti sebuah permohonan tapi aku menanggapi biasa-biasa saja. Ya memang entah karna kesal atau gimana karna ia tidak menghiraukan panggilanku. Akupun tidak membalasnya lagi. Mungkin karna egoku yang masih melekat dalam kesehariannku.
            Akupun meletakkan hanphoneku ke saku celana dan mulai ku menghampiri notebook yang sudah memanggil-manggilku dari tadi seakan tak sabar agar aku menyentuhnya dan memainkan jari-jemariku di atasnya. Ya entah apa yang ada dalam pikiranku saat itu akupun merasa gelisah dan perasaan yang tidak tenang bercampurgundah diaduk jadi satu dalam kekesalan. Seakan hari itu notebook ku tak mau menemaniku dalam kesendirian di ruang itu. Tapi akupun mencoba untuk merayunya agar mau menemaniku dan meghiburku diruang itu. Tapi ya apadaya rayuan gombalku tak mampu membuatnya tersenyum malah semangkin membuatdiriku kesal ditambah lagi hujan diluarsana tak kunjujung reda.
            Suasana di tempat itupun semangkin tidak bersahabat, angin sayu mulai menghampiri diriku yang semangkin lemah hingga menusuk pori-pori kulitku. “ah...” keluhku saat itu, rasanya ingin cepat-cepat kembali ke kos. Telintas begitu saja dalam pikiranku saat itu, seandainya aku berada dikos pasti aku tidak seperti sekarang ini yang sepi. Pasti aku saat ini sedang tertawa bersama dengan teman-teman kosku yang memang selera humornya sangat tingi. Tapi apalah daya hujan tak kunjung reda akupun harus bersabar menanti hujan yang memang masih berpesta pora di luar sana.
            Kucoba mulai beranjak dari tempat dudukku semula dan mengghapimpiri tembok pembatas teras kampus. Kusandarkan daguku di tembok kampus yang lusuh dengan menghadap hujan yang masih asik berpesta di depan kampus. Mereka bermain menari nari di depanku seolah mereka senang melihatku. “akhh!” aku mencoba melepaskan suasana sunyi saat itu dengan berjalan mondar-mandir melintasi teras-teras becek terkena percikan air hujan yang sedang berpesta, hingga berakhir di sebuah kursi reot yang berjajar di lorong kampus. Kubaringkan sejenak tubuhku sembari menanti hujan reda melewati hari itu. Seketika suasana menjadi gelap dan sunyi, “tak tak tak tak” suara langgkah kaki terdengar olehku dari dalam gedungkampus seperti ada orang didalam. Langkah kaki itupun seperti mulai mendekat perlahan-lahan, seperti ada yang janggal di dalam gedung itu akupun menolehkan mukaku kebelakang untuk memastikan suara apa itu.
            Secara tidak sadar kakikupun melangkah mendekati sumber suara itu seraya menggendong tas hitamku di pundak kiri. Akupum mulai mendekati ruangan yang ada di gedung itu dimana asal suara itu berasal. “krekkk....!” suara pitu ketika kubuka. Tidak ada orang didalam dan sura langkah kaki itupun menghilang, tidak lagi terdengar olehku. Akupun berlalu meninggalkan ruangan itu. Namun, belum tiga langkah aku meninggalkan ruangan itu kembali terdengar olehku bisik-bisik seseorang yang sedang bercerita yang begitu lembut. Kembali ku membuka pintu tapi hasilnya tetap sama tidak ada siapapun di dalam. Kembali ku meninggalkan ruangan itu dan kembali beranjak menuju teras tempatku menanti reda hujan tadi. Akan tetapi sebuah gambar besar yang ada di mading lorong kampus menyita perhatiannku untuk melihatnya, akupun mengurungkan niatku untuk pergi keteras dan menghampiri gambar yang ada di mading tersebut dan seakan yang ada di dalam gambar itu tidak asing bagiku tapi siapa.
            Raut wajah yang manis dengan rambut terurai menempel rapi di mading itu. Perasaan sebelumnya foto ini tidak ada di mading ini. Matanya menyorot seperti mengeluarkan cahaya menatap diriku sehingga ku terpana memandang foto itu tanpa sempat mengkerlipkan mataku sedetikpun. “Sungguh seperti aku mengenal wanita ini tapi dimana?” hatiku mulai bertanya tanya.”kenapa baru ada sekarang siapa yang menempelnya? Dan kenapa aku tidak tau? Buaknnkan daritadi aku disini, namun tak seorangpun yang aku jumpai?” hatikupun mulai penuh dengan tanda tanya siapa, kenapa, apa dan penuh dengan rasa penasaran yang aneh memang menurutku. Sesekali kupandang lagi foto itu tapi setiap aku kembali memandang foto itu ekspresinya selalu ber ubah-ubah. Akupun mulai merasa parno dalam diriku. Tapi ah aku tidak mau ambil pusing.
            Suasana lorong kampus semangkin sepi, sunyi suram senyap tanpa ada suara apapun selain suara gemuruh dan hujan yang membuat suasana semangkin senyap. Perasaan-perasaan parnopun semangkin menjadi-jadi. “crapp” terlintas cahaya yang berasal dari lampu neon kampus yang mulai menyala. Tapi ya lampunya mati-mati, terkadang membuat rasa parno semangkin memuncak. Ya gimana tidak dikampus yang gedungnya sebesar ini sudah lusuh, seperti tak terawat sepi sendirian lagi. Tapi apalah aku mulai meninggalkan mading dan foto itu, tapi terasa berat untuk meninggalkan tempat itu seakan ada sesuatu aku dengan foto yang ada dimading itu. Dan bagiku foto itu tidak asing lagi seperti ada hubungan khusus aku dengan orang yang ada difoto itu. “Tapi siapa?” hatikupun mulai bertanya-tanya lagi.
            Pertanyaan yang sama masih saja terlontar di benahku yang penasaran, tapi akhh entahlah apapun hubungan diriku dengan orang yang ada difoto itu yang pasti aku sudah tidak mengingatnya lagi atau mungkin aku memang lupa. Tapi, apa bedanya tidak ingat dengan lupa itukan sama saja satu moyang. Mulai ku tidak menghiraukan foto yang ada dimading itu dan kembali menuju teras kampus. Tiba-tiba langkah kakiku berhenti seperti tertahan terasa berat seperti ada beban yang menumpu berkumpul pada telapak kakiku. Merekat erat dilantai seketika begitusaja. Ia aku baru tau itu foto seorang wanita yang meninggalkanku tadi, riri ia riri seorang yang ku kenal lembut, ramah, sopan dan suka tersenyum ketika aku bersamanya.
            “Tapi kenapa fotonya ada di mading itu?” akupun mulai kembali memalingkan wajahku ke foto itu. Tap mataku tertuju pada kunci mading yang telah rusak, timbul niat untuk mengambil foto yang ada di papan mading tua itu. Ketika ku geser kaca mading tap seketika foto itu hilang dari hadapanku. Akupun bingung, lontaran tangan meraba diriku sehingga aku takmampu menepisnya lagi. “tolong.....tolong.... “teriakku sangat keras. Hingga suasana saat itu menjadi riuh. Langkah kakikupun mulai tak beraturan seperti kancil yang sedang dikejar oleh gurita yang lemah. Tak berpindah sedikitpun dari tempat itu. Seketika suasana menjadi cerah seakan tak terjadi apa-apa sebelumnya. Dan di sekitarku berubah bukan lagi di dalam ruangan kampus yang reot, lusuh, penuh dengan debu. Tapi berganti di sebuh pantai yang sangat indah bertaburan ombak-ombak yang saling berkejar-kejaran, dibatasi dengan pohon-pohon cemara yang menari-nari menyambut angin yang berlalu lalang di hadapanku saat itu.
            Disana terlihan sepasang pria dan wanita yang sedang duduk di bawah pohon cemara dengan sangat dekatnya. Bercerita dengan begitu akrapnya entah apa yang mereka bicarakan. Sesekali mereka bergurau entah apa yang mereka guraukan, penuh senyum seakan tak ada masalah sama sekali. Akupun memperhatiakan mereka berjalan bergandengan tangan menikmati indahnya pantai yang begitu indah, dengan pasir putihnya yang membentang luas, dan tembok batuan yang berdiri kokoh menambah panorama alam di pantai itu. Agin yang berhembus tiada heti menyejukkan setiap insan yang menikmati suasana di pantai itu. Entah pantai apa namanya sepertinya akupun tidak mengenal pantai itu. Akan tetapi yang pasti dipinggir laut yang indah menurutku.
            Dengan trumbu karangnya yang masih alami, seperti tidak pernah terjamah oleh manusia sekalipun, tepatnya yang bersih, landai, menghadap laut yang penuh dengan deburan ombak putih yang menandakan suasana pantai yang masih asri. Mungkin pantai ini lebih tepatnya aku menyebutnya pantai tapa perambah. Ya mungkin itulah nama pantai itu tapi entahlah, yang pasti itu sebuah pantai yang ada di depanku. Yang ada hanya sepasang kekasih yang sedang menikmati pantai yang indah itu. Aku mulai merasa penasaran dengan wanita yang ada di hadapanku yang bersama pria itu. Kembali terbesit pertanyaan dalam diriku “siapa wanita itu?” aku menggumam sembari mencari tempat yang aman untuk memperhatikannya. Seorang wanita yang anggun, dengan rambut terurai, ceria dan bersahaja. Didampingi oleh seorang pria yang ceria. Mereka bersama menikmati pantai yang indah itu.
            “bukankah itu riri!” diriku tercengang melihat riri ada di pantai itu degan seorang pria. “tapi kenapa dia disini? Siapa peria itu?” aku mulai heran dicampur bingung jadi satu dibungkus dengan rasa penasaran. Dan akupun menghampiri mereka, tapi seakan mereka tak memperdulikanku seperti tak melihatku. “Ada apa ini?” aku mulai meragukan keberadaanku. Mereka masih saja menari-nari bersama berputar-putar sambil tertawa menikmati pantai yang indan dan bersih itu. Ketika tanganku ingin menepuk pundak riri, ketika itu pula wajahku terhempas oleh rambut riri yang ter urai lembut. Sehingga aku lupa akan keberadaanku saat itu, ketika ku mulai membuka mataku aku sudah berada di sebuah hutan yang sejuk.
            Aku semangkin bingung kenapa aku sudah berada di tengah tengah hutan yang begitu sunyi tanpa seorang manusia disana. Yang ada hanya pohon-pohon besar yang menjulang tinggi. Dan kicauan burung yang bernyanyi bersahut sahutan di tengah hutan yang masih begitu asri. Hutan yang sejuk, hutan yang masih alami, hutan yang penuh ketenangan, hutan yang masih menyisakan kehidupan yang akan datang, hutan tanpa penebangan, hutan yang penuh dengan segalanya. Mungkin ini hutan yang di damba-dambakan oleh dunia saat ini, hutan yang diharapkan oleh anak cucu kita nanti. Tapi entah lah aku masih bingung dimana sosok wanita yang bernama riri tadi.
            Aku mulai melangkahkan kakiku untuk menuju kesebuah anak sungai yang begitu sejuk, yang ada dalam hutan yang asri ini. Air yang begitu jernih, sejuk, dengan batu-batuan yang masih alami. Lumut alam masih tegar tumbuh merekat di bebatuan sungai. Air yang tanpa tercemar sedikitpun. Segar rasanya, sejuk menenangkan hatiku saat ini. Aku mulai menikmati indahnya hutan ini yang sangat sejuk dan sehat ini. Terlihat olehku sebuah batu besar terhampar di tengah aliran sungai yang jernih ini. Tapi batu tersebut tidak berdiri sendirian ia ditemani oleh seorang wanita yang anggun, dengan rambutnya yang ter urai. ia, wanita itu lagi wanita yang memang aku sudah mengenalnya. Riri ia riri wanita itu yang sedak duduk dihamparan batu besar itu. Seolah ia sangat menikmati air yang ada di sungai itu. Membasuh kakinya sambil mendendangkan lagu yang sangat merdu. Tapi entah lagu apa yang ia nyanyikan.
            Akupun mencoba menghapirinya “ riri....!” teriak ku. Tapi ia tak mendengarku. Aku mulai mendekatinya. Tapi alangkah sial segumpalan batu yang dipenuhi lumut melontarkan aku kedalam sungai yang sejuk itu.  Dan mengubah suasana saat itu, aku terlontar disebuah keramayan yang aneh tapi nyata. Aku ingin kembali namun tak bisa, aku sudah berada disebuah kerumunan orang-orang yang sangat begitu ramai. Dengan bangunan yang kumuh, panas, debu bertebaran dimana-mana, asap kendaraan yang busuk memenuhi tempat ini. Entah tempat apa ini namanya. Tapi ketika kutanya dengan orang-orang yang ada di sini mereka menjawapnya dengan lantang seolah bangga “ini namnya kota” jawaban mereka yang sibuk berlalu lalang di tempat yang sangat kumuh, gerah, dan penuh dengan bau busuk yang beraral parit-parit kecil yang memagari tempat ramai ini.
            Sebuah tempat yang tidak sehat menurutku, tapi seketika wajahku menoleh kesebuah taman kota yang ada di pinggiran kota itu. Akupun mulai menuju ketaman itu dan menghampiri sebuah kursi yang ada di taman itu. Akupun berehat di kursi kota yang ada di taman ini. Ketika itu seorang wanita setengah baya melintas dihadapanku dengan begitu anggunnya, dengan rambut terurai, dan senyum yang menawan. “riri... ia itu riri” aku mengenal wanita itu. Aku mulai mengikutinya. Tapi suara lembut menghampiriku entah darimana asalnya. “dek...dek...bangundek...”suara itu seloah membangunkanku. Tapi suara itu terus saja berkumandang di dekatku semangkin lama semangkin jelas. “dek...bangun dek...” akupun terkejut ternyata aku tertidur di kursi kampus yang malang ini. Ia suara itu bersasal dari satpam kampus yang membangunkanku dari tidurku. “ dek.. bangun udah malam kampus udah mau dikunci” tegur satpam kampus kepadaku. “huah... apa udah malam!” aku kaget ketika satpam kampus membangunkanku.
            “riri mana?” tanyaku kepada satpam kampus. “riri siapa? Adik ngigau kali” jawab satpam kampus heran. Akupun baru ingat ternyata kejadian tadi hanya mimpi. Akupun bergegas meninggalkan kapus untuk menuju ke kos. “terima kasih pak udah mau bangunin...!” teriakku sambil berlari menuju ke kos tercintaku.

  • Note : Bambang Sutrisno adalah mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unsyiah.

0 komentar:

Posting Komentar